Mampukah Ahok Mendobrak Groupthink
Posisi Gubernur DKI vs DPRD Jakarta sedikit
berbeda jika dibandingkan dengan posisi rakyat Indonesia melawan rezim Orde
Baru. Saat itu, groupthink ditopang dengan kekuasaan dan kekuatan riil-dalam
maupun luar negeri, bersenjata, sistemik, dan berakar.
Hal itu tidak ada pada DPRD DKI saat ini. Kekuatan mereka
hanya setengah riil, artinya benar mereka mempunyai kekuatan politik, tetapi
ada risiko kekuatan itu bertubrukan dengan kekuatan moral konstituennya
(rakyat). Walau praktik seperti ini
sudah jadi kebiasaan, masyarakat menunggu kepemimpinan yang berani dan
berkomitmen pada rakyat. Tanpa dukungan rakyat, pameran groupthink DPRD DKI
bisa jadi hanyalah macan ompong.
Ada dua skenario yang akan menentukan perjuangan melawan
groupthink ini. Skenario pertama, perjuangan Ahok akan berhasil jika ada
dukungan presiden dan wakil presiden (masing-masing sudah menyatakan dukungan
secara terpisah) dan menyerahkan kasus ke ranah hukum. Sistem inilah yang akan
membedah elemen groupthink yang disajikan DPRD DKI. Masyarakat akan menjadi
sumber legitimasi atas temuan dan pembuktian dana siluman Rp 12,7 triliun.
Unsur kunci dalam skenario pertama adalah Menteri Dalam
Negeri, yang berasal dari partai politik pendukung hak angket, tetapi sekaligus
anggota kabinet kerja Jokowi. Kementerian Dalam Negeri wajib mengevaluasi
secara independen kedua versi budget. Jika anggaran DKI versi Pemprov tidak
segera disahkan, hal itu akan menyulut kemarahan rakyat.
Maka, orang berharap Mendagri berani mengesahkan anggaran
DKI tanpa tekanan. Proses hukum pun biarkan berjalan terus. Jika ini yang
terjadi, kita akan menyaksikan buah-buah manis dari Ahok. Masyarakat yang
merasa dibela akan tetap memelihara harapan dan kepercayaan pada
pemerintah.
Jika yang terjadi Mendagri menekan Pemprov DKI Jakarta untuk
memperbaiki hubungan dengan DPRD DKI, Mendagri akan menolak pengesahan anggaran
di luar prosedur. Peristiwa itu akan memicu skenario kedua, rakyat akan
merasakan untuk kesekian kalinya "berada di ruang kosong publik tanpa
pemimpin". Tumbuh apatisme dan perasaan marah yang dapat membabi buta dan
berdampak buruk.
Pemerintahan Jokowi lahir dalam kancah perseteruan antara
suara dan nalar yang berakal budi dengan nafsu dan ketamakan kekuasaan disertai
autodestruct mechanism (mekanisme bunuh diri). Pemerintahan Jokowi harus
mengedepankan akal budi dan tidak membiarkan pemerintahan bermisi bunuh diri
karena absennya keberanian moral.